BABELKUPASONLINE.COM – Di berbagai daerah di Indonesia, masyarakat memiliki beragam cara untuk menandai waktu berbuka puasa selama bulan Ramadan. Ada yang menggunakan beduk, azan, atau cara lainnya. Namun, di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat tradisi unik yang sudah berlangsung puluhan tahun, yaitu bunyi “siung” dari Kantor Pusat PT Timah Tbk.
Siung ini berasal dari speaker besar yang dipasang pada menara di Kantor Pusat PT Timah Tbk. Setiap kali waktu berbuka puasa tiba, suara khas siung menggema di seluruh penjuru kota. Tak hanya saat berbuka, siung juga dibunyikan pada waktu sahur dan menjelang imsak. Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ramadan di Pangkalpinang.
Menariknya, di luar bulan Ramadan, siung tetap memiliki fungsi penting. Bunyi siung digunakan sebagai penanda waktu masuk dan pulang kerja bagi para karyawan PT Timah Tbk. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan PT Timah tidak hanya berperan dalam sektor bisnis, tetapi juga melekat erat dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat.
Menurut sejarawan dan budayawan Bangka Belitung, Dato’ Akhmad Elvian, bunyi siung pertama kali dikenal oleh masyarakat Bangka pada akhir abad ke-19, ketika perusahaan tambang timah milik Belanda, Banka Tin Winning (BTW), mulai menerapkan sistem mekanisasi dalam operasionalnya.
“Siung dalam bahasa Melayu berarti dengungan atau desingan seperti suara lebah yang terbang membelah kesunyian. Pada awalnya, siung digunakan sebagai penanda waktu bagi para pekerja tambang untuk memulai dan mengakhiri aktivitas kerja,” jelas Elvian.
Awalnya, sistem penanda waktu di tambang timah menggunakan lonceng. Namun, seiring perkembangan zaman, lonceng digantikan oleh siung yang lebih efektif dan mudah didengar hingga ke pelosok kampung. Sejak saat itu, siung mulai memiliki peran lebih luas, terutama di bulan Ramadan, sebagai penanda waktu sahur dan berbuka bagi masyarakat setempat.
Bagi masyarakat Bangka, Ramadan terasa kurang lengkap tanpa bunyi siung. Bagi banyak orang, suara nyaring yang menggema ini lebih efektif dibandingkan melihat posisi matahari atau mengandalkan jam, terutama di masa lalu ketika arloji masih menjadi barang langka.
“Belum lengkap rasanya berbuka puasa tanpa mendengar bunyi siung. Masyarakat sangat terbantu dengan adanya siung karena suara ini dapat menjangkau banyak orang dengan jelas,” kata Elvian, yang merupakan penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia.
Seiring waktu, fungsi siung semakin berkembang. Tidak hanya PT Timah yang membunyikannya, tetapi juga beberapa brandweer swasta dan masjid di wilayah Bangka Belitung. Bahkan, ada lokasi di Pangkalpinang yang disebut “Simpang Suling” atau “Simpang Siung”, yang dulu digunakan masyarakat sebagai tempat berkumpul sambil menunggu angkutan umum seperti trem atau mobil penumpang.
Keberadaan siung tidak hanya menjadi bagian dari budaya Ramadan di Pangkalpinang, tetapi juga menjadi bukti bahwa perusahaan tambang timah memiliki pengaruh besar terhadap peradaban Bangka. Elvian berharap agar bunyi siung tetap bertahan di tengah kemajuan teknologi digital.
“Bulan Ramadan akan berganti menjadi Syawal, dan begitu seterusnya sesuai perputaran waktu. Namun, siung akan tetap menjadi bagian dari ingatan kolektif kita sebagai penanda sejarah puasa di Bangka. Semoga bunyi siung tetap setia menemani Ramadan di masa mendatang,” harapnya.
Saat ini, siung tidak hanya terdengar di Pangkalpinang, tetapi juga di wilayah operasional PT Timah lainnya, seperti Mentok, Belitung, dan Belitung Timur. Tradisi ini masih dijaga dengan baik oleh PT Timah sebagai bentuk keterikatan dengan masyarakat dan upaya melestarikan budaya lokal.
Dengan eksistensinya yang telah berlangsung lebih dari seabad, siung tidak sekadar menjadi penanda waktu, tetapi juga bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Bangka Belitung. (Sumber:www.pt timah.com)
Baca berita terkait Bangka Belitung lainnya di Google News