Sebelumnya, PT Timah Tbk dan mitra usahanya juga telah melaksanakan melaksanakan pertemuan terkait hal ini kepada masyarakat sekitar pada April lalu.
“Kami sampaikan bahwa perusahaan memilliki legalitas untuk melaksanakan operasi dan produksi di wilayah DU 1546 Laut Rias. Semua dilakukan sesuai dengan regulasi yang berlaku hingga proses kemitraan yang dijalankan bersama mitra usaha PT Timah Tbk. Perihal izin ini semuanya terbuka dan bisa diakses melalui Kementerian ESDM,” ucap Anggi.
Anggi menambahkan untuk mendukung produksinya, PT Timah Tbk juga melakukan pemberdayaan masyarakat melalui pola kemitraan yang dilaksanakan di konsesi perusahaan.
“Semangat pemberdayaan masyarakat ini tentunya harus juga dilihat sebagai upaya untuk memberikan keuntungan bagi peningkatan ekonomi masyarakat secara legal di wilayah pertambangan,” ucap Anggi.
PT Timah Tbk kata Anggi dalam melaksanakan proses bisnisnya juga mengedepankan kondusifitas.
Sehingga Ia berharap, semua pihak dapat dengan tenang menyikapi dinamika yang terjadi. Kemudian terkait seluruh dokumen perizinan sebagai dasar operasi produksi PT TIMAH Tbk yang menjadi polemik pada masyarakat saat ini, PT TIMAH Tbk memiliki dan konsern terhadap semua prasyarat yang diamanatkan untuk pelaksanaan operasi produksi.
“Terkait permintaan rekan-rekan nelayan, dalam pertemuan kemarin sebenarnya yang terjadi adalah PT Timah Tbk pada forum tersebut sudah menunjukkan beberapa dokumen. Tapi Bersama ini kami sampaikan, sebagai perusahaan terbuka (Tbk.red) tentu PT Timah Tbk juga harus berhati-hati dalam menyampaikan informasi. Perusahaan membuka diri untuk sesuatu yang bersifat konstruktif, seluruh dokumen lengkap dan sesungguhnya dapat langsung menghubungi Tim teknis (Legal perusahaan) ataupun bersilaturahmi ke kantor PT TIMAH Tbk untuk melihat dokumen dan izin. Tentunya dalam hal ini kita ingin semuanya berjalan secara kondusif,” ucap Anggi.
Anggi juga menambahkan bahwa kewenangan untuk memberikan dan pengecekan perizinan sudah diatur oleh pemerintah sesuai dengan aturan yang berlaku yakni melalui kementerian terkait secara berjenjang.
“Analogi sederhananya, kiranya tidak mungkin rasanya warga negara melakukan penyetopan kendaraan dijalan raya dan kemudian meminta kelengkapan izin berkendara karena kewenangan tersebut tentunya ada di pihak yang berwajib,” Tambah Anggi
Praktisi Pertambangan Teddy Marbinanda mengatakan, konflik sosial yang terjadi bidang pertambangan sudah menjadi persoalan klasik dan ini yang bukan yang pertama kali terjadi.
Namun, terkait adanya permintaan kelompok masyarakat terdampak dalam hal ini nelayan kepada pemilik IUP untuk menunjukkan legasitasnya, bukan merupakan sebuah kewajiban. Pasalnya, jauh sebelum diterbitkannya IUP perusahaan pemilik izin konsesi telah melalui proses yang panjang terkait pemenuhan kewajibannya.
“Tidak ada kewajiban untuk menunjukkan berbagai legalitas yang dimiliki, karena mereka (PT Timah Tbk-red) sudah melakukan banyak tahapan. Secara administrasi memang banyak terjadi kelemahan, apalagi ketika pertambangan tidak lagi tanggungjawabnya di tingkat Kabupaten sehingga menyebabkan instansi pemberi izin dan kondisi di lapangan menjadi terputus,” katanya.